TENTANG
ZUHUD
Zuhud sering diartikan oleh banyak orang sebagai ungkapan atau refleksi sikap yang anti dunia bahkan menjauh dari dunia itu sendiri, sehingga menimbulkan kesan seakan-akan bahwa seseorang yang sedang belajar untuk mempunyai sikap zuhud ini harus mengosongkan diri dari segala hal yang berbau keduniawian, kesan selanjutnya bahwa ia harus menjadi seorang yang miskin, berpakaian lusuh, compang-camping, penuh tambalan dan sebagainya.
Pandangan semacam ini
barangkali ada benarnya namun tidak seluruhnya, masih dalam tanda koma belum
titik, mengingat banyaknya ayat-ayat Al Qur?an dan Hadits-hadits Nabi yang
mengingatkan bahayanya dunia dalam kehidupan manusia jika tidak disikapi dengan
sebuah pandangan bahwa dunia seisinya ini adalah sekedar sarana belaka untuk
mencari bekal kehidupan abadi kelak di akherat ?Addunya mazra?atul akhirah?
dunia adalah ladangnya akherat.
Di dalam Al Qur?an
Alloh SWT menisbatkan zuhud ini pada ulama yaitu suatu penghormatan bagi sifat
ini, sepertimana dalam surat Al Qashas ayat 80 disebutkan:
? Dan berkatalah
orang-orang yang dianugerahi ilmu: ?Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala
Allah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh ?.
Sebetulnya ayat ini
masih berkaitan dengan kisah Qarun (seorang yang digambarkan Al-Qur’an sebagai
orang yang amat kaya raya dan amat mencintai hartanya), Sedangkan cinta yang
berlebihan pada dunia dinisbatkan oleh Al Qur?an pada sifat orang kafir yang ingkar kepada Tuhan,
dalam Surat Ibrahim ayat 3 disebutkan:
?(Yaitu)
orang-orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia dari kehidupan akherat
dan menghalang-halangi manusia dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan
Allah itu bengkok ?.
Dalam kisah perjalanan
Isra? Mi?raj-nya Rasululloh SAW, diriwayatkan bahwasanya Beliau diperlihatkan
oleh Alloh SWT akan seorang perempuan yang sudah tua renta dan keriput wajahnya
namun berdandan menor dan mencolok sekali bagaikan gadis remaja belasan tahun
yang lagi mekar-mekarnya sehingga kelihatan sangat kontras sekali.
Lalu Rasulullah SAW
bertanya kepada Jibril AS yang menemani beliau ketika itu: ?Siapakah orang tua
itu wahai Jibril?,
oleh Jibril dijawab:
?Itulah gambaran dunia ini, umur dunia ini sudah sedemikian lamanya sehingga
tinggal menunggu masa berakhirnya saja, walaupun begitu masih banyak manusia
yang tertipu oleh penampilannya yang mengundang perhatian mereka yang menyukai
keindahan dhahir”.
Lalu… benarkah konsep
zuhud yang diajarkan oleh para sufi itu adalah zuhud dengan pengertian demikian
yaitu konsep yang identik dengan kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan
yang berujung pada suatu keyakinan bahwa dunia itu adalah musuh bagi manusia,
menghalangi manusia dari Tuhannya sehingga harus ditinggalkan demi mencapai
kepuasan batin serta bisa mendekatkan diri padaNya tanpa ada penghalang yang
merintangi jarak antara dia denganNya ???.
Logika awam yang normal
dan sehat tentu akan menjawab “tidak”.
Bukankah Alloh SWT
sewaktu pertama kali menciptakan manusia adalah ditujukan untuk menjadi
khalifah pengatur didunia ini? Dan untuk menjadi seorang khalifah yang dapat
mengatur dunia seisinya ini dengan baik tentu diperlukan teori-teori dari
berbagai disiplin ilmu pengetahuan. tidak cukup dengan teori-teori yang
tertulis dalam teks kitab suci, namun lebih dari itu diperlukan langkah kongrit
untuk mengaplikasikan apa yang tercantum dalam teks kitab suci itu ke dalam
kehidupan nyata yang membumi bukan sekedar doktrin normatif yang kaku.
Bukankah Alquran
sendiri dalam surat Al A?raaf ayat 32 dengan tegas mengatakan: ?Katakanlah:Siapakah
yang mengharamkan perhiasan dari Allah Swt. yang telah dikeluarkanNya untuk
hamba-hambaNya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?”.
Dan dalam surat Al
Maidah ayat 87 dikatakan :
?Wahai orang-orang yang
beriman janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah Swt.
halalkan bagi kamu”.
Konsep zuhud dengan
pengertian harus terputus dari segala hal-hal keduniawian semata, jelas
bertentangan dengan konsep Al Qur?an itu sendiri walaupun disana ada beberapa
ayat lain yang menerangkan kadar bahaya dari dunia tatkala tidak disikapi
dengan perasaan sekedar sebagai ajang mediator untuk mencari bekal pada
kehidupan abadi di akhirat nanti.
Al-Imam Ghazali
menerangkan di dalam Ihya bahwa hakekat zuhud bukanlah meninggalkan harta benda
dan mengorbankannya pada jalur sosial untuk menarik perhatian manusia, itu
menurut beliau hakekatnya hanyalah sebagian dari perhiasan adat, namun sama
sekali tidak ada hubungannya dengan nilai ibadah, karena hal ini biasanya
dimulai dengan niat mengharapkan ganti yang lebih atau karena tendensi ingin
dikenal dalam suatu komunitas sosial, juga karena ingin pujian supaya dikenal
sebagai seorang darmawan dan sebagainya.
Namun orang yang zuhud
itu adalah orang yang mempunyai harta benda akan tetapi dia menyikapinya dengan
lapang dada walaupun dia mampu untuk menikmati hartanya itu tanpa suatu
kekurangan apapun, namun dia lebih memilih bersikap waspada, hatinya tidak ikut
condong ke harta, hatinya tidak terlalu terikat dengan harta, karena dia
khawatir sikap condongnya itu akan membawanya cinta kepada selain Alloh Swt.,
dan mencintai selain dari Alloh SWT, karena dengan begitu, berarti dia telah
membuat sekutu dalam cintanya itu.
Atau bisa juga dia
meninggalkan dunia karena mengharap akan pahala akhirat, dia meninggalkan
kenikamatan dunia karena lebih mengharap kenikmatan di Surga, makanya dia lebih
memilih apa yang dijanjikan di surga dengan perasaan lapang tanpa sedikitpun
merasa khawatir akan kenikmatan dunia.
Kawan… Mudah-mudahan
hati kita termasuk golongan orang-orang yang zuhud akan dunia dan sifat-sifat
keduniawian, amien Allohumma Ya Robbal Alamien….
wallohu a’lam
bish-shawab,-
Hakikat Perilaku Zuhud
Perawi hadis Ibnu Majah
mengisahkan, seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, ”Wahai
Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu perbuatan yang jika aku lakukan, maka
aku akan dicintai oleh Allah dan juga oleh manusia.”
Rasulullah menjawab, ”Berlaku
zuhud-lah kamu terhadap kenikmatan dunia niscaya kamu akan dicintai Allah, dan
berlaku zuhud-lah kamu di tengah manusia niscaya kamu akan dicintai oleh
mereka.” Hadis di atas mengisyaratkan suatu perilaku yang dapat mengantarkan
seseorang meraih cinta Allah SWT dan manusia. Perilaku itu adalah zuhud. Secara
etimologi, zuhud adalah menjauhkan diri dari sesuatu karena menganggap hina dan
tidak bernilai. Bagi para sufi, zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang lebih
dari kebutuhan hidup walaupun sudah jelas kehalalannya.
Berlaku zuhud tidak
berarti berdiam diri dan tidak melakukan usaha apa pun untuk mendapatkan rezeki
yang halal. Zuhud bukan sikap malas. Seorang zahid (orang yang zuhud) sama
sekali tidak identik dengan orang fakir yang tidak mempunyai harta apa pun.
Seorang zahid adalah orang yang mendapatkan kenikmatan dunia tetapi tidak
memalingkan dirinya dari ibadah kepada Allah. Ia tidak diperbudak dunia dengan
segala kenikmatannya, dan mampu menahan diri untuk tetap berada di jalan yang
diridhai Allah.
Zuhud adalah perbuatan
hati (af’al al-qulub). Seorang zahid, dalam hatinya tumbuh keyakinan bahwa apa
yang ada dalam genggaman Allah lebih bernilai daripada yang ada dalam genggaman
manusia. Ia yakin Allah adalah al-razzaq, penjamin rezeki semua makhluk. Imam
Husain bin Ali berkata, ”Salah satu ciri lemahnya iman seseorang adalah
menganggap bahwa yang ada pada manusia lebih bernilai daripada yang ada pada
Allah.”
Perilaku zuhud juga
sangat dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat. Zuhud dalam bermasyarakat
adalah dengan menjauhkan diri dari segala bentuk kejahatan sosial yang dapat
merusak keharmonisan hidup bermasyarakat seperti menggunjing, mengadu domba,
berjudi, dan mengonsumsi narkotika, psikotropika, dan barang terlarang lainnya.
Dalam bermasyarakat,
seorang zahid mampu menahan diri untuk tidak mengambil hak milik orang lain
dengan cara yang dilarang oleh agama. Allah SWT berfirman, ”Dan janganlah
sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang
batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim supaya kamu
dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat
dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. 2: 188).
Seorang zahid tidak
akan dengki terhadap kenikmatan yang dimiliki orang lain. Ia sadar, perbedaan
nikmat yang diberikan Allah kepada manusia adalah ujian bagi ketaatannya kepada
Allah. Rasulullah SAW memerintahkan setiap Muslim untuk menjauhi sifat dengki
karena dapat menghapus semua pahala kebaikan seperti api melalap kayu bakar. (HR
Abu Daud).
Setiap Muslim hendaknya
mampu menanamkan zuhud dalam hidupnya agar mampu menyikapi kenikmatan dunia
searif mungkin dan mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan sesama manusia.
Salah Mengartikan Zuhud
adalah Miskin
Sewaktu kecil sering
guru ngaji ‘terkesan’ menekankan keutamaan orang miskin. Digambarkan bahwa
orang kaya nanti akan paling akhir diperhitungkan karena hartanya dihitung satu
demi satu. Memangnya pakai komputer Pentium 4, sehingga menghitungnya lama?
Setelah besar saya
menyadari bahwa ajaran tersebut salah besar. Ternyata telah dicontohkan sejarah
bahwa para Nabi itu kaya. Kabarnya Ibrahim berkurban seratus onta, yang
menunjukkan bahwa dia orang kaya. Sulaiman jelas terkaya di dunia hingga akhir
jaman. Ayyub juga kaya. Demikian juga Rasulullah Muhammad saw. Sangat kaya.
Kesimpulan : kaya dan miskin bukan ukuran kesempurnaan.
Justru saya semakin
menyadari bahwa esensi kaya adalah merdeka. Bila karena miskin Anda berpotensi
menjadi kafir, maka Anda wajib merdeka menjadi kaya. Sama juga, bila Anda kaya
harta lalu berpotensi menjadi kafir, maka Anda wajib merdeka dengan segera
mendermakan harta kekayaan itu.
Satu sikap yang sering
ditekankan guru ngaji adalah zuhud. Digambarkan orang yang zuhud adalah orang
yang berpakaian sederhana, hidup sederhana, dan seterusnya. Zuhud bahkan
dikesankan berlepas diri dari kenikmatan dunia.
Itu dulu, sampai saya
membaca buku karya HAMKA berjudul Tasawuf Modern. Barulah saya mendapat
pencerahan bahwa zuhud sejatinya adalah ‘berlepas diri dari keterikatan pada
dunia’. Perhatikan, bukan berlepas diri kepada ‘kenikmatan’, namun kepada
‘keterikatan’.
Dua tokoh yang paling
mengesankan dari contoh ketidakterikatan pada dunia adalah Nabi Sulaiman dan
Nabi Ayyub. Ini adalah contoh dua orang kaya yang zuhud, artinya mereka
berlepas diri terhadap keterikatan pada harta. Mereka siap kehilangan hartanya,
kapan pun kalau Allah menghendaki. Inilah wujud zuhud yang sejati, menikmati
karunia Tuhan, namun berlepas diri pada keterikatan terhadap sumber nikmat
tersebut.
Sulaiman dan juga Daud,
ayahnya, adalah dua raja paling kaya. Namun mereka sadar bahwa kekayaan itu
adalah ujian bagi ketaatan mereka kepada Tuhan. Sulaiman bahkan mempunyai ilmu
memahami perkataan makhluk lain, termasuk jin dan binatang. Namun dia
senantiasa sadar bahwa semua itu adalah ujian ketaatan.
Hingga apabila mereka
sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke
dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya,
sedangkan mereka tidak menyadari”; maka dia tersenyum dengan tertawa karena
perkataan semut itu. Dan dia berdo’a: “Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap
mensyukuri ni’mat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua
orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan
masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh”.
(An Naml 18-19)
Sulaiman tidak diuji
dengan menjadi miskin. Nabi Ayyub lah contoh zuhud yang lebih dahsyat.
Ayyub adalah orang kaya
dengan banyak harta, banyak istri, dan banyak anak. Kemudian diuji Allah dengan
kemalangan. Hartanya ludes terbakar, anak-anaknya mati terkena musibah.
Istri-istrinya minta cerai sehingga tinggal satu orang. Dan kemudian dia
menderita penyakit kudis hingga kurang lebih 17 tahun lamanya. namun Ayyub
tetap bersabar dan bersyukur.
Kemudian beliau disembuhkan Allah dan
dikembalikan kekayaan serta keluarganya berkali lipat.
dan Ayub, ketika ia
menyeru Tuhannya: “, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah
Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang”. Maka Kamipun
memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan
Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka,
sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua
yang menyembah Allah. (Al Anbiyaa’ 83-84)
Inilah contoh bagaimana
menjadi zuhud. Menjadi zuhud berarti tetap menikmati kenikmatan karunia Allah,
namun pada saat yang sama juga berlepas dari keterikatan terhadap nikmat
tersebut.
AKU TAHU RIZKIKU TAK
MUNGKIN DIAMBIL ORANG LAIN, KARENANYA HATIKU SELALU TENANG
AKU TAHU AMAL-AMALKU
TAK MUNGKIN DILAKUKAN ORANG LAIN MAKA AKU SIBUKAN DIRIKU UNTUK SELALU BERAMAL
AKU TAHU ALLAH SELALU
MELIHATKU
KARENANYA AKU MALU BILA
ALLAH
MENDAPATIKU BERBUAT
MAKSIAT
AKU TAHU KEMATIAN
MENDEKATIKU
MAKA KUPERSIAPKAN BEKAL
UNTUK BERJUMPA DENGAN RABKU
(Hasan Basri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar